Pertanian Harus menjadi landasan ekonomi Indonesia


Pertanian Harus menjadi landasan ekonomi Indonesia
Ditulis oleh merdeka Rabu, 07 Oktober 2009 10:27

FERRY JOKO JULIANTONO , Semaju dan sehebat apapun sebuah negara, pasti menjadikan sektor pertanian sebagai landasan bagi pembangunan ekonominya. Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, Cina juga negara-negara Eropa. Negara-negara tersebut membangun industri yang terintegrasi, dari hulu sampai hilir dan sektor pertanian dijadikan sebagai bahan bakar perekonomian nasionalnya. Bahkan sampai saat ini Amerika Serikat menjadi salah satu negara industri modern yang tetap melakukan dukungan dan proteksi dibidang pertanian.

Apabila dibandingkan dengan negara-negara tersebut, Indonesia seharusnya bisa menjadi negara yang lebih besar, karena Indonesia sudah ditakdirkan sebagai negara pertanian dengan anugerah sumber daya alam yang melimpah. Luas daratannya yang subur terhampar merata dari Ujung Papua sebelah Timur sampai Pulau Weh disebelah Barat, disertai dengan dukungan iklim tropis, dan mayoritas penduduknya berpenghidupan dari sektor pertanian.

Potensi yang sangat besar tersebut belum teroptimalisasi untuk menjadi pendorong bagi kemajuan bangsa. Sejak kemerdekaan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, pasang surut perhatian pemerintah pada bidang pertanian terlihat begitu jelas. Nampak berbagai perbedaan kebijakan di bidang pertanian dari satu pemerintahan ke pemerintahan lainnya seolah tidak ada arah yang jelas dan tidak saling berhubungan serta tidak terintegrasi dengan bidang-bidang lainnya, bahkan cenderung tersisih oleh bidang ekonomi. Hal itu disebabkan oleh: (1) Tidak dijadikannya bidang pertanian sebagai landasan dalam pembangunan ekonomi nasional; (2) Tidak pernah tuntasnya penyelesaian berbagai masalah pertanahan di Indonesia; (3) Kurangnya dukungan terhadap bidang pertanian dalam penataan produksi.

Setelah 64 tahun Indonesia merdeka, kontribusi sektor pertanian dalam PDB telah mengalami penurunan yang sangat cepat. Pada tahun 1969 sektor pertanian menyumbang 40,2% PDB, sementara pada tahun 2003 menurun menjadi hanya sekitar 10,7%. Penurunan PDB sektor pertanian tersebut dari sudut logika pembangunan ekonomi merupakan fenomena yang normal bahkan dinilai sebagai suatu keberhasilan modernisasi ekonomi. Namun perubahan tersebut tidak disertai oleh penyerapan pangsa tenaga kerja. Dalam periode yang sama, penyerapan tenaga kerja sektor pertanian hanya turun dari 67% pada tahun 1969 menjadi sekitar 46% pada tahun 2003. Artinya perubahan struktur ekonomi Indonesia berlangsung tidak seimbang, hal ini disebabkan antara lain oleh, (1) laju pertumbuhan tenaga kerja di sekitar pertanian-pedesaan lebih tinggi dibandingkan sektor industri dan jasa; (2) sektor industri dan jasa yang berkembang tidak mampu menyerap surplus tenaga kerja yang ada di pertanian-pedesaan. Hal ini cukup logis karena industri-industri yang berkembang di Indonesia selama ini cenderung bersifat footloose industry, dengan kandungan bahan impor mencapai 60% dan relatif padat modal (capital intensive); (3) tidak adanya upaya peningkatan kemampuan SDM di sektor pertanian-pedesaan yang memungkinkan mereka migrasi ke sektor industri dan jasa sementara industri pertanian di Indonesia sangat sedikit menyerap tenaga kerja karena hanya merupakan usaha pertanian penyedia bahan baku tidak membangun industri olahan. Penyerapan yang terjadi justeru pada luasan tanah yang membutuhkan ribuan sampai ratusan ribu hektar. Migrasi yang terjadi lebih besar ke sektor informal atau menjadi TKI.

Pada akhirnya ketidakseimbangan struktur ekonomi tersebut menjadikan pedesaan sebagai lumbung kemiskinan dan pengangguran. Menurut Bank Dunia kategori miskin adalah yang berpendapatan dibawah US$ 2/hari berarti sekitar 103 juta orang miskin dan 70% nya adalah petani yang tinggal dipedesaan. Kemiskinan dipedesaan tersebut diperkuat oleh data dari BPS hasil Sensus Pertanian tahun 1983 dan 1993 tentang semakin menyempitnya luas penguasaan tanah pertanian sebagai sebab utamanya. Dari rata-rata penguasaan 0,98 Ha untuk setiap Rumah Tangga Pertanian (RTP) pada tahun 1983, dimana untuk Jawa adalah 0,58 Ha dan 1,58 Ha untuk luar Jawa. Angka ini semakin mengecil pada tahun 1993 menjadi rata-rata 0,83 Ha untuk setiap RTP di mana 0,47 Ha untuk Jawa dan 1,27 Ha untuk luar Jawa. Sementara pada tahun 2003 menurut Sensus Pertanian BPS mengungkapkan jumlah petani gurem (luas lahan kurang dari 0,5 Ha) meningkat dari 10,8 juta RTP menjadi 13,6 juta RTP. Tanah telah menjadi komoditi langka di banyak daerah pedesaan, karena berbagai hal seperti tingginya tingkat kenaikan jumlah penduduk, desakan industrialisasi, perkebunan dan berbagai pengembangan bisnis yang membutuhkan tanah skala luas. Akibatnya, kebutuhan tanah meningkat, sementara peluang perluasan tanah pertanian semakin sulit selain merambah hutan dan hal ini bertentangan dengan kebijakan pemerintah.

Selain soal ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah , ada tiga masalah lain dibidang pertanahan yang harus mendapat perhatian khusus pemerintahan SBY – Boediono lima tahun kedepan, yaitu; (1) masih maraknya “mafia pertanahan; (2) Belum tertata dengan baik dan rapinya administrasi pertanahan di Indonesia; (3) Hubungan antara hukum pertanahan nasional dengan hukum adat di bidang pertanahan. Praktek-praktek pemalsuan dokumen kepemilikan (sertifikat/dokumen keabsahan kepemilikan tanah lainnya), ijin penguasaan/pemanfaatan, dilakukan oleh para makelar tanah baik skala kecil maupun skala besar. Para makelar ini melakukan kolusi dengan aparatur pemerintah termasuk oknum-oknum BPN dengan memanfaatkan belum tertata dengan rapi nya administrasi pertanahan di Indonesia (menurut data Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) hanya 30% tanah yang sudah bersertifikat di Indonesia). Bahkan, kekuatan “mafia pertanahan” ini pun sampai bisa menembus peradilan yang juga menentukan keabsahan kepemilikan suatu bidang tanah secara hukum apabila objek tersebut disengketakan. Praktek “mafia pertanahan” ini telah merugikan negara sangat besar dari sisi keuangan, dari proses sertifikasi nya juga dari pendapatan pajaknnya karena biasanya mereka merendahkan Nilai Jual Objek Pajak nya (NJOP) apabila objek tanah tersebut hendak dibeli dan dimasukkan ke dalam objek pajak. Dan tentunya ketidakpastian jaminan hukum dalam pemberantasan “mafia pertanahan” ini juga menyebabkan para usahawan berfikir dua kali apabila hendak menanamkan modalnya di Indonesia. Kelemahan administrasi pertanahan ini juga menjadi salah satu penyebab tingginya kasus pertanahan di Indonesia. Menurut data hasil inventarisasi BPN pada tahun 2006 terdapat 2.810 kasus dan meningkat tajam pada tahun 2007 menjadi 7.491 kasus, terdiri dari 4.581 kasus kategori sengketa, 858 kasus kategori konflik dan 2.052 kategori perkara. Apabila tidak dilakukan terobosan baru dalam penyelesaian sengketa pertanahan maka bisa dibayangkan akan terjadi penumpukkan kasus pertanahan di Indonesia. Sementara terkait dengan hubungan antara hukum pertanahan nasional dan hukum adat, Indonesia merupakan Negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, dimana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam prakteknya (deskritif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya. Di tinjau secara preskripsi (dimana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan atau peraturan perundangan) secara resmi diakui keberadaannya namun dibatasi dalam peranannya. Supaya terjadi harmonisasi antara hukum pertanahan nasional dan hukum adat dan menjamin kepastian hukum suatu bidang tanah adat maka perlu adanya sertifikasi tanah-tanah adat di seluruh Indonesia, selain itu apabila hal ini dilakukan akan mencegah konflik pertanahan yang didasarkan pada pegangan hukum adat yang berbeda-beda diantara setiap suku bangsa yang ada di Indonesia.

Pada saat yang sama, terdapat masalah penting lainnya dibidang pertanian yaitu kurangnya dukungan dalam penataan produksi. Meskipun dalam wilayah produksi pemerintah kini tengah giat-giatnya memberikan berbagai subsidi kepada petani, pupuk kimia, pupuk organik, alat produksi pertanian juga bantuan permodalan yang memang cukup menggeliatkan kembali usaha di bidang pertanian, namun pembangunan infrastruktur pertanian dan pedesaan seperti irigasi, pembangunan atau perbaikan jalan masih dirasakan kurang dibeberapa daerah. Belum dibangunnya saluran irigasi didaerah-daerah pertanian yang merupakan daerah pengembangan baru menjadi kendala utama tidak berkembangnya pertanian didaerah-daerah tersebut, sehingga pencetakan sawah baru atau lahan pertanian yang baru akan mengalami kesusahan. Dalam wilayah paska produksi, dimana semuanya diserahkan kepada mekanisme pasar menyebabkan beberapa komoditas hasil pertanian anjlok dan merugikan para petani. Meski begitu, beberapa daerah ditingkat dua memberikan contoh yang baik dengan membuat BUMD yang membeli hasil produksi pertanian dengan patokan harga lebih tinggi dari pasaran. Stabilitas harga komoditas pertanian ini penting untuk tetap dijaga nilai ekonomisnya, karena bagaimana pun apabila masih mempunyai nilai keuntungan tinggi tentunya akan menyerap tenaga kerja dan investasi yang lebih besar disektor pertanian. Karena menurut survei BPS tahun 2001 sekitar 75% petani di pulau Jawa telah berusia di atas 50 tahun dan hanya 12% yang berusia di bawah 30 tahun, hal ini disebabkan oleh penilaian masyarakat bahwa sector pertanian sudah tidak menarik keuntungan lagi bagi mereka.



Peran Pemerintah

Membutuhkan daya dukung dan political will yang besar dari pemerintah untuk merubah paradigma pembangunan yang memprioritaskan pertanian sebagai landasan bagi pembangunan nasional. Secara fundamental sektor pertanian mempunyai empat fungsi bagi pembangunan suatu bangsa, yaitu, (1) mencukupi pangan dalam negeri; (2) penyedia lapangan kerja dan berusaha; (3) penyedia bahan baku untuk industri; dan (4) sebagai penghasil devisa bagi negara. Pemerintahan SBY mendasari setiap langkah pembangunan dengan paradigma pro-growth, pro-employment, dan pro-poor. Di bidang pertanian hal tersebut dijalankan dengan pencanangan Revitalisasi Pertanian, Perkebunan dan Perikanan. Perbaikan sarana infrastruktur pertanian dan pedesaan, pemberian bantuan subsidi sarana produksi pertanian (pupuk, alsintan, kredit mikro, dll) membuat aktifitas ekonomi di pedesaan mulai menggeliat. Meski masih jauh dari tingkat capaian kesejahteraan, perlahan pendapatan petani mulai meningkat.

Meski seperti itu ketersediaan tanah sebagai prasyarat mutlak dalam sebuah usaha di bidang pertanian dan dukungan permodalan bagi petani masih menjadi titik lemah untuk lebih meningkatkan kemajuan pembangunan di sektor pertanian. Karena meski ada banyak bantuan dari sisi sarana produksi dan infrastruktur pertanian apabila para petaninya tidak mempunyai tanah tidak akan terjadi perubahan atau peningkatan kesejahteraan bagi petani. Mereka hanya akan menjadi buruh tani dengan upah yang sangat murah. Padahal menurut catatan saja setidaknya 44 juta jiwa (atau kira-kira 40% dari total angkatan kerja) bekerja di sektor pertanian.

Pemerintahan SBY sudah mengambil langkah yang sangat tepat untuk mengatasi persoalan di bidang pertanian yaitu dengan mencanangkan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang akan mendistribusikan tanah seluas 8,12 juta ha. Program Pembaruan Agraria yang komprehensif tidaklah hanya sekedar distribusi tanah kepada para petani penggarap (utamanya kepada para tuna kisma) tetapi juga disertai dengan peningkatan kualitas keterampilan bertani melalui bimbingan teknis dan kredit yang cukup serta penataan perdagangan ekspor-impor hasil produksi pertanian tentunya hasil produksi pertanian dalam negeri diprioritaskan untuk pemenuhan pangan dan bahan baku industri dalam negeri.

Program Pembaruan Agraria pada akhirnya akan menjadi fondasi yang kokoh bagi perekonomian nasional. Karena dengan tersedianya tanah dan tenaga kerja yang melimpah akan terjadi reinvestasi surplus ke sekitar pertanian-pedesaan. Untuk memperbesar kapasitas ekonomi pedesaan, diperlukan peningkatan pendekatan pembangunan pertanian dari pendekatan produksi pertanian ke pendekatan sistem agribisnis. Dengan pendekatan agribisnis, tidak hanya pertanian primer yang dikembangkan di pedesaan tetapi juga industri hulu pertanian (up-stream agribusiness), industri hilir pertanian (down-stream agribusiness), dan sektor penyedia jasa seperti perkreditan, training-training SDM dan jasa transportasi. Perkembangan industri pertanian di pedesaan ini akan menyerap tenaga kerja yang sangat besar dan akan meningkatkan pendapatan petani.

Untuk lebih memaksimalkan berbagai usaha yang memajukan bidang pertanian pemerintah harus lebih mendorong perusahaan-perusahaan BUMN yang bergerak di bidang pertanian serta lembaga keuangan (bank milik pemerintah) untuk turut serta secara aktif dalam program ini, antara lain dengan:

1. Optimalisasi peranan Dewan Ketahanan Pangan yang diketuai oleh Presiden dan beranggotakan 12 departemen dan 4 LPND, Karena fungsi lembaga ini sangat strategis untuk memberikan Mainstreaming atau pengarusutamaan yang bersifat arahan dan koordinasi antar departemen/lembaga pemerintahan lainnya, sehingga efektifitas capaian kerja dapat terjadi dalam menjadikan bidang pertanian sebagai landasan pembangunan ekonomi nasional.

2. Keberhasilan Bulog menjalankan fungsinya sebagai stabilisator harga beras patut diapresiasi dengan baik oleh kita semua, sebagai perusahaan yang berada di front line dalam menjaga stabilitas politik pangan dalam negeri, fungsi Bulog layak untuk kembali menjadi stabilisator harga barang kebutuhan pokok lainnya, seperti jagung, kedelai. Namun demikian dalam periode pemerintahan ke depan, Bulog perlu mengembangkan pembangunan pabrik pengolahan komoditi pertanian serta pemanfaatan aset yang dimilikinya untuk pengembangan industri pertanian. Dalam menjalankan fungsi pelayanan publik, Bulog perlu memperbaiki manajemen distribusi yang modern, terutama dalam mendistribusikan beras untuk rakyat.

3. Sebagai perusahaan strategis yang menjaga stabilisator harga beras, keamanan dan kontinuitas suplai beras haruslah dijaga. Untuk menjaga itu Bulog harus membangun atau bergerak di industri hulu dan hilir dalam bidang pertanian pangan. Perlu dipertimbangkan kemungkinannya Bulog setelah itu hanya membeli Gabah Kering Panen dan Gabah Kering Giling dari petani, yang memungkinkan terjaminnya harga ditingkat petani sekaligus memaksa Bulog cepat berkembang kearah industri yang berorientasi ekspor.

4. Selain mempunyai peran sebagai perusahaan yang melayani kepentingan masyarakat, Bulog sebagai perusahaan profesional haruslah mencari keuntungan. Banyak peluang dari potensi Bulog sendiri dan potensi eksternal yang bisa dikembangkan Bulog. Dengan aset yang besar, mobilitas distribusi pangan yang tinggi, SDM yang berada disemua wilayah NKRI serta banyak potensi lainnya yang bisa dikembangkan untuk menjadi usaha profesional Bulog ke depan.

5. Perusahaan perbankan milik pemerintah seperti Bank Mandiri, BNI, BRI serta perusahaan-perusahaan bank atau keuangan milik pemerintah daerah juga perusahaan perbankan swasta harus lebih di dorong untuk membuka ruang yang lebar pada bidang pertanian dengan disertai berbagai kemudahan yang tidak memberatkan bagi kreditur tapi juga aman bagi perbankan itu sendiri. BRI yang telah mempunyai trade mark sebagai bank pedesaan harus lebih meningkatkan usahanya di bidang pertanian dan pedesaan untuk menarik minat investor lainnya.

6. Untuk lebih meningkatkan usaha dibidang pertanian tidak cukup dengan hanya mendorong perbankan saja, akan lebih baik apabila pemerintah membentuk lembaga keuangan mikro yang bergerak langsung di pedesaan yang bisa membantu meningkatkan usaha taninya dan mengobati para petani dari jeratan pengijon dan tengkulak.



(Ferry Joko Juliantono, Ketua Umum Dewan Tani Indonesia, Aktivis Gerakan Petani.)

baca semua...

Panitia Tidak Perlu Seragam Baru

Radar Madiun
Rabu, 07 Oktober 2009

MADIUN - Inspeksi mendadak (sidak) kesiapan Pilkades serentak di Kabupaten Madiun berlanjut. Kemarin (6/10), Hadi Sutikno, Kabag Pemdes dan Darsono, Asisten Pemerintahan kembali mendatangi sejumlah desa. Mereka menemukan anggaran Pilkades yang melebihi imbauan Pemkab Madiun yakni maksimal tujuh kali subsidi atau Rp 49 juta.

Beberapa disidak diantaranya, Desa Sendangrejo dan Sirapan yang berada di Kecamatan Madiun. Juga, Desa Ngepeh, Klumutan dan Sambirejo di Kecamatan Saradan. Selain itu sidak juga dilakukan di Kecamatan Wungu dan Dagangan.

Hadi Sutikno mengatakan, pihaknya sudah melakukan sidak pada 70 persen kecamatan di Kabupaten Madiun yang akan menggelar Pilkades pada 25 Oktober mendatang. Data sementara dari hasil sidak tim, 20 persen desa anggarannya masih melebihi Rp 49 juta. ''Kami sudah sarankan yang 20 persen itu untuk melakukan efisiensi. Jangan berlebihan dalam merencanakan anggaran,'' katanya, kemarin.

Menurutnya, saat ini masih ada waktu untuk melakukan musyawarah kembali dengan BPD merumuskan efisiensi. ''Tapi saya minta secepatnya bisa diubah'' ungkapnya. Saat sidak di Desa Sendangrejo misalnya, panitia menjelaskan besaran anggaran Pilkades mencapai Rp 55 juta. Jumlah itu, melebihi imbauan Pemkab Madiun. Hingga hari terakhir pendaftaran tahap pertama kemarin, belum ada calon yang daftar. Panitia harus membuka lagi tahap kedua. ''Saya cek anggarannya memang ada hal yang seharusnya tidak perlu tetapi dimasukkan. Diantaranya pengadaan seragam dan anggaran konsumsi,'' tambah Hadi Sutikno.

Dikatakan, anggaran pengadaan seragam juga ditemukan saat sidak di Desa Tiron, Kecamatan Madiun. Hadi mengimbau bujet seragam baru menambah anggaran. Oleh karena itu, ditekankan agar panitia tidak memasukkan pos tersebut. ''Tidak perlu kan agenda Pilkades harus mengadakan seragam baru.''ujarnya.

Selain soal seragam, Hadi juga menyentil anggaran konsumsi, pengadaan perlengkapan terop dan jasa angkut konstituen khususnya di daerah terpencil. Serta anggaran untuk kampanye. Berdasar hasil sidak, ada yang jumlahnya terlalu berlebihan.

Ditanya soal aturan batas maksimal anggaran Pilkades dan beban yang harus ditanggung bakal calon, Hadi mengatakan langkah itu ke depan akan diadakan. Namun, menunggu pengesahan RUU tentang Desa dan Pembangunan Desa. ''Menunggu RUU itu disahkan. Takutnya kami sudah buat Perda tapi muncul UU baru kan repot harus ganti lagi,'' jelasnya.

Sidak kemarin tak hanya menemukan desa yang anggaran Pilkades-nya di atas Rp 50 juta Di Desa Ngepeh, Hadi terlihat tersenyum karena anggarannya hanya Rp 34,5 juta dengan jumlah pemilih 1.114 orang. ''Cukup bagus. Ada poin penting, seragam masuk pos anggaran jadi jumlahnya tidak membengkak,'' jelasnya di hadapan panitia Pilkades Ngepeh.

Suratmin, kepala panitia Pilkades Ngepeh mengatakan, pihaknya memang tidak menyediakan anggaran seragam. Saat rapat dengan BPD disepakati seragam itu solusinya bisa meminjam atau menyewa. ''Bisa menekan anggaran. Seragam itu tidak perlu karena biayanya besar. Lebih baik menyewa kan biayanya murah,'' ungkapnya.

Diakatakan, jumlah Rp 34,5 juta itu sudah melalui tahapan revisi. Sebab, pada pertemuan pertama disepakati Rp 39 juta. Karena berbagai pertimbangan maka dilakukan pengeprasan anggaran mulai dari pengadaan terop, konsumsi sampai pengadaan seragam. ''Pemilih yang jumlahnya sedikit dibuat anggaran besar, itu kan malah kelihatan lucu. Kami berupaya untuk membuat sewajarnya,'' jelasnya.

Sementara itu, untuk Desa Klumutan mendapatkan toleransi menggunakan biaya yang jumlahnya mencapai Rp 75 juta. Karena ada pertimbangan jumlah pemilih yang mencapai 6.900 orang serta luas wilayah. (ota/irw)

baca semua...