SMP Terbuka ?

Radar Madiun
Sabtu, 17 Oktober 2009
Melongok SMP Terbuka di Sidomukti, Plaosan, yang Digagas Sutikno Sang Kades
"Saya Tidak Ingin Anak-Anak Hanya Tamat SD"

Anak adalah masa depan orang tua. Karenanya, bekal terpenting adalah pendidikan yang layak. Di Desa Sidomukti, Kecamatan Plaosan, Magetan, ada SMP Terbuka untuk menampung siswa dari keluarga kurang mampu. Sutikno, sang kades, adalah sosok berjasa di lembaga itu?

M. ARIF WIDIYANTO, Magetan

PENGGALAN syair lagu ''Garuda di Dadaku'' dinyanyikan dengan lantang oleh Yudi Kurniawan. Sesekali, temannya menyahut bait demi bait tembang yang dipopulerkan grup band Netral tersebut. ''Garuda di dadaku... Garuda kebanggaanku. Ku yakin hari ini pasti menang... Kobarkan semangatmu... Tunjukkan sportivitasmu... Ku yakin hari ini pasti menang,'' ucap Yudi dari lobi lantai dua balai desa Sidomukti, Plaosan, Magetan, Kamis siang (8/10).

Lagu yang menjadi soundtrack film ''Garuda di Dadaku'' itu seakan menjadi pelecut Yudi, Nanang, Dwi Ayu Kurnia, Dwi Yuliati bersama empat temannya yang sekolah di SMP Terbuka, Desa Sidomukti. Meski belum pernah melihat film yang mengisahkan perjuangan bocah yang menembus Timnas PSSI, kedelapan anak desa di lereng selatan Gunung Lawu itu termotivasi merenda masa depan dari bangku SMP Terbuka. ''Senang akhirnya bisa terus sekolah. Apalagi, di sini sekolahnya gratis,'' tutur Yudi, siswa kelas VII SMP Terbuka sembari membuka-buka buku catatan pelajaran IPS untuk melihat pekerjaan rumah yang ditugaskan sang guru.

Sebelum masuk SMP Terbuka, Yudi sebenarnya ingin melanjutkan ke SMP Negeri 2 Plaosan. Lantaran orang tuanya kurang mampu, niatan anak kedua dari tiga bersaudara itu pupus. Namun, asa Yudi membuncah setelah mendengar di desanya akan dibuka sekolah lanjutan tingkat pertama. Semangatnya kembali menyembul tatkala ayahnya diundang pemerintah desa untuk sosialisasi program SMP Terbuka. ''Meski temannya sedikit, sekolah di sini (SMP Terbuka, Red) sama saja seperti di SMP negeri. Gurunya juga enak-enak,'' imbuh Dwi Ayu Kurnia, teman Yudi sambil membetulkan letak kaos kaki putih yang berlabel SMP Negeri 1 Plaosan, sekolah induk SMP tersebut.

Dwi Kurnia adalah putri Mariyem, seorang ibu rumah tangga dengan penghasilan pas-pasan dari buruh menganyam caping. Dari pekerjaan yang diorder tetangganya tersebut, dia membawa pulang uang sekitar Rp 300 ribu tiap bulan. Sedangkan suami merantau ke luar Jawa. ''Kalau tidak ada SMP Terbuka, saya tidak bisa meneruskan sekolah. Karena ibu tidak ada biaya,'' aku Dwi lirih.

Bagi Mariyem, dibukanya SMP Terbuka di desanya adalah kabar menggembirakan. Sejak diberitahu perangkat desa Sidomukti, perempuan paro baya itu bersemangat mengikuti sosialisasi, Juni 2009 silam. ''Alhamdulillah mas. Dwi akhirnya bisa meneruskan ke SMP. Kalau tidak ada sekolah ini, mungkin ya hanya tamat SD saja,'' kata Mariyem dengan mata berbinar saat didatangi koran ini bersama Jono, guru SMP Negeri 1 Plaosan sekaligus penanggung jawab sehari-hari SMP Terbuka.

Mariyem mengaku terbantu dengan sekolah khusus tersebut. Dengan penghasilan minim, dia tidak bisa berpikir biayanya darimana jika anaknya masuk sekolah reguler.

Jika Dwi masuk sekolah umum, tentu, dia akan disibukkan dengan urusan pembayaran uang gedung, dana seragam dan alat tulis yang harus disediakan saat tahun ajaran baru. Belum lagi biaya Dwi sehari-hari, misalnya, uang saku.

Pendirian SMP Terbuka tak lepas dari peran Kepala Desa Sidomukti, Sutikno. Gagasan itu, muncul setelah bertandang ke rumah koleganya, Jono, guru SMP Negeri 1 Plaosan. Sore itu, di rumah Jono ada beberapa anak yang sedang belajar bersama.

Sutikno yang mantan guru lantas bertanya perihal apa yang dilakukan anak-anak putus sekolah tersebut. ''Jawabannya membuat saya agak terkejut. Kata Pak Jono, anak-anak itu sedang dikarantina menghadapi ujian nasional. Mereka ini dari sekolah terbuka yang menginduk ke SMP 1 Plaosan,'' cerita pak lurah.

Kades yang pernah menyabet perhargaan pemerintahan desa tingkat nasional itu, lantas bertanya panjang lebar kepada Jono. Dia juga berkonsultasi kepada Kepala SMP Negeri 1 Plaosan, Retno Purwaningsih. Dia bahkan mencari informasi ke Dinas Pendidikan Magetan soal SMP Terbuka. ''Tiap hari saya terus memikirkan rencana mendirikan SMP Terbuka. Karena, saya tidak ingin anak-anak Sidomukti, terutama dari keluarga beruntung ini, pendidikannya hanya tamatan SD,'' papar Sutikno.

Sebagai kepala desa, Sutikno juga merasa harus bertanggung jawab ikut menyukseskan program wajib belajar 12 tahun. ''Kalau inisiatif tidak datang dari pemerintahan desa, siapa lagi. Dari situlah, dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim, saya dan teman-teman perangkat desa sepakat membuka kelas SMP Terbuka di sini (Sidomukti, Red),'' terang dia.

Ide tersebut gayung bersambut. SMP Negeri 1 Plaosan melihat ada motivasi kuat terkait rencana mendirikan sekolah terbuka di Sidomukti. Sinyal hijau ini ditangkap oleh pemerintahan desa dengan melakukan pendataan siswa kelas VI SD Sidomukti.

Dari data yang diambil jauh sebelum kelulusan tahun ajaran 2008/2009 lalu, didapat sejumlah anak dari keluarga miskin (gakin). ''SMP Terbuka ini memang diprioritaskan kepada anak usia sekolah dari keluarga kurang mampu,'' tuturnya

Pendekatan pun dilakukan. Tercatat, di awal pendataan, ada 15 anak yang tersaring. Mereka lantas diundang ke balai desa untuk diberikan pemahaman. ''Tapi, di tengah perjalanan, tinggal sembilan anak yang mendaftar. Ada pihak-pihak yang kontra dengan langkah kami ini,'' jelas Sutikno.

Cibiran tersebut dianggap Sutikno dkk sebagai hal yang lumrah. Sebab, SMP Terbuka adalah wacana baru bagi masyarakat pedesaan seperti Sidomukti ini. ''Ada yang mengatakan sekolahnya tidak legitimasi. Terus, ada yang ngomong nanti setelah lulus akan telantar dan ijazahnya tidak diakui,'' papar dia.

Meski ada yang mencibir, proyek sosial ini pun berlanjut. Bagi keluarga kurang mampu yang tertarik terus dimotivasi. Sedangkan, yang terpengaruh oleh gesekan orang yang tidak suka ditinggal. Pihak desa menyulap satu ruangan di lantai dua kantor desa setempat untuk kegiatan belajar mengajar. Sutikno juga menyediakan bangku dan kursi serta papan tulis untuk generasi penerus Desa Sidomukti.

''Setiap niat mulia pasti ada jalan. Dan sungguh ironis kalau anak-anak saya ini hanya tamat SD. Apalagi persaingan di masa mendatang sangat berat dan kejam. Mereka harus bisa sekolah SMP dan hingga SMA,'' jelas Sutikno.

Akhirnya, jerih payah Sutikno dan perangkat desa terealisasi. Pada tahun ajaran 2009/2010, secara resmi SMP Terbuka memulai kegiatan belajar mengajar dengan murid berjumlah delapan anak.

Saat tahun ajaran baru, kedelapan pelajar ini juga ikut MOS (masa orientasi sekolah) di SMPN 1 Plaosan. Yudi, Nanang, Dwi Ayu dan kawan-kawan juga ikut kegiatan Persami (perkemahan Sabtu-Minggu) serta kegiatan ekstrakurikuler lain di sekolah induk. ''KBM-nya masuk siang dan full satu minggu. Mulai Senin hingga Jumat. Khusus hari Sabtu, anak-anak kami bawa ke SMP 1 untuk pelajaran ekstrakurikuler. Dengan begitu, mereka tidak merasa asing atau terkucilkan. Mereka juga tetap memiliki teman,'' ujar kepala SMP Negeri 1 Plaosan, Retno Purwaningsih.

Menurutnya, program KBM di SMP Terbuka ini tidak sama dengan sekolah reguler. Anak-anak tersebut lebih difokuskan pada materi pelajaran Ujian Nasional (Unas). Yakni, bahasa Indonesia, matematika, bahasa Inggris dan IPS. ''Untuk menambah skill, mereka ikut ekstrakurikuler. Setiap ada kegiatan di sekolah induk, mereka juga selalu dilibatkan,'' jelar Retno.

Di awal pendirian SMP Terbuka ini, Retno dan guru di SMP Negeri 1 Plaosan sempat ragu. Namun, melihat kegigihan kepala desa dan perangkat Sidomukti, pihaknya tidak bisa menolak gagasan mulia tersebut. ''Apalagi setelah KBM berjalan, kami selaku sekolah pembimbing melihat ada motivasi kuat pada diri anak dan pihak desa. Beda dengan sekolah terbuka lain yang kami tangani. Kami juga bersemangat mengelola sekolah ini,'' jelas dia.

Dalam proyek sosial ini, Retno memilih guru yang memiliki keinginan dan kepedulian kuat untuk membagikan ilmunya kepada anak-anak dari keluarga kurang beruntung itu. ''Kami tidak tega untuk menelantarkan mereka. Ini proyek akhirat bagi kami,'' terangnya.

Meski tidak digaji tambahan, para guru juga merasa enjoy memberikan ilmunya kepada Yudi, Nanang, Dwi dkk. Apalagi, melihat semangat kedelapan siswa SMP Terbuka yang dari hari ke hari tetap menyala. ''Selama ini, operasional sekolah ini dari dana BOS (bantuan operasional sekolah). Di luar itu tidak ada.''

Mulai bulan depan, kepala desa Sidomukti, Sutikno akan membuatkan buku tabungan bagi siswa dan orang tuanya. Buku tersebut harus diisi dana minimal Rp 50 ribu tiap bulannya. Selama tiga tahun, diperkirakan akan terkumpul dana sekitar Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta. ''Itu bukan iuran atau untuk biaya di SMP Terbuka. Tabungan tersebut kelak akan digunakan biaya masuk SMA. Karena, cita-cita saya, anak-anak ini harus lulus SMA atau sederajat,'' kata Sutikno.

Bagi Yudi, Nanang, Dwi dkk, bersekolah di SMP Terbuka membuat masa depannya tersingkap. Yudi bahkan sudah memantapkan hati untuk menamatkan pendidikannya di sekolah yang dirintis oleh Sutikno. ''Saya ingin meneruskan ke SMA. Kalau bisa sampai kuliah,'' asa Yudi yang bercita-cita menjadi insinyur pertanian. ***(irw)

baca semua...