Ada apa di dalam Ka'bah

Jangankan untuk masuk ke dalam Ka'bah, untuk mencium hajar aswad saja sangat sulit, memerlukan kesabaran dan perjuangan mental dan phisik. Untuk ibu2 disarankan melihat dari jauh saja, karena sangat berat dan resikonya malah berdosa. Misalnya saya pernah melihat seorang ibu nekad sampai terlepas jilbabnya juga sebagian mukenanya, ini sama dengan membuka aurat di depan ka'bah, berdosa !, na'udzubillahi min dzalik.
Subhanalloh walhamdulillah, saya mendapat sebuah foto di dalam ka'bah dari seorang teman (foto di atas). Untuk masuk ka'bah adalah suatu mission impossible. Keluarga Presiden Suharto pernah diijinkan oleh Raja Fath masuk ka'bah. Kalau kita cukuplah melihat fotonya.... (kiriman : Purwanto)

baca semua...

Rumah Petak Milik Nabi


Kamis, 19 November 2009 | 13:54 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Bersujud di depan makam Nabi Muhammad SAW rasanya seperti tersedot magnet raksasa. Ada rasa haru yang mengiris-iris. Bukan kesakralan makam itu yang membuat banyak orang--termasuk saya--sesenggukan. Bukan pula tawaran pahala yang dijanjikan bila salat di Raudah--wilayah antara makam Nabi dan mimbar khutbah di Masjid Nabawi--yang membuat tubuh ini lunglai. Tapi, bayangan betapa sederhananya rumah Nabi itulah mata kami sembab.

Makam itu persis ada di rumah Nabi dulu. Rumah yang mungil. Bahkan, rumah tipe 21 pun masih lebih luas dari rumah Nabi. Ukurannya mungkin sama dengan rumah-rumah petak yang ada di Jakarta. Rumah itu kini masuk dalam bagian Masjid Nabawi dan hanya ditutup ukiran kayu. Di dalam rumah itu ada makam Nabi, Abu Bakar dan Umar bin Khattab.

Nabi yang diagungkan itu--bahkan para malaikat pun tak henti membaca shalawat untuknya--ternyata hidup jauh dari standar sederhana. Tak ada AC atau penghangat saat angin dingin membekukan Madinah. Tak ada kasur empuk atau spring bed. Tak ada sofa mewah atau kursi ukiran yang melingkar-lingkar. Tak ada kemewahan seperti yang ditawarkan Electrolux, King Koil, Panasonic, Avanza, atawa Lexus. Juga tak ada keindahan seperti yang disodorkan Dolce & Gabbana, Gucci.

Umar pernah minta izin menemui Nabi SAW. Ia melihat beliau sedang berbaring di atas tikar kasar terbuat dari pelepah Tamar. Sebagian tubuh Nabi tampak berada di atas tanah. Dia juga cuma berbantalkan pelepah kurma. Umar pun menangis.

"Mengapa engkau menangis?" Nabi bertanya. Umar menjawab, "Bagaimana aku tidak menangis. Tikar ini membuat bekas pada tubuhmu. Engkau ini Nabi Allah dan kekasihNya. Kekayaanmu hanya yang aku lihat sekarang ini. Sedangkan Kisra dan kaisar lainnya duduk di singgasana emas dan bantalnya sutera".

Mungkin ingatan cerita ini membuat tubuh saya dan orang-orang di sekitar saya menggigil dan menangis. Teringat garis-garis bekas pelepah di pipi Nabi. Lalu melayang lagi percakapan Nabi dan Umar.

Nabi pun menasehati Umar, "Mereka (kaisar dan orang kaya) telah menyegerakan kesenangannya. Itu akan cepat berakhir. Kita adalah kaum yang menangguhkan kesenangan yang nantinya kita pakai untuk hari akhir. Perumpamaan hubunganku dengan dunia adalah seperti orang yang bepergian pada musim panas. Sejenak berlindung di bawah pohon, kemudian berangkat dan meninggalkannya. "

Kata Nabi lagi, sisakan kesenangan di dunia ini untuk bekal akherat. Dalam sepekan, tahanlah nafsu, lapar dan haus, paling tidak dua hari. Lakukan shaum senin-kamis. Dua puluh empat jam sehari, sisakan waktu satu-dua jam untuk sholat fardlu dan membaca al-Qur'an. Delapan jam waktu tidur, buanglah barang 15 menit saja untuk sholat tahajud.

"Celupkan tanganmu ke dalam lautan," ujar Nabi Saw ketika sahabat yang bertanya tentang perbedaan dunia dan akherat. "Air yang menempel di jarimu itulah dunia. Sisanya adalah akherat".

Bayangan cerita itu semakin membuat kami ini tak sanggup mengangkat kepala dari sujud di depan makam Nabi. Duh Gusti, ampuni kami.

baca semua...

Agar Tak Buntung Saat Menukar Rupiah ke Riyal


Informasi ini dapat dipakai oleh jama'ah haji tahun depan, karena jama'ah tahun ini sudah di tanah suci, bahkan saat ini mereka sudah mempersiapkan wuquf di Arafah.
Selasa, 27 Oktober 2009 | 16:57 WIB, TEMPO Interaktif, Jakarta: Menukar uang untuk bekal pergi haji ke Arab Saudi itu gampang-gampang susah. Kalau tak hati-hati bisa-bisa kita terbentur pada harga Riyal yang mahal. Saat ini normalnya, satu Riyal setara dengan Rp 2.540. Namun, saat musim haji seperti sekarang ini di money-changer biasanya mencapai satu Riyal = Rp 2.700 atau bahkan Rp 3.000. Bagaimana agar kita mendapatkan kurs Riyal yang murah?

1. Usahakan tukar tidak dekat musim haji. Semakin dekat musim haji, maka akan semakin mahal kurs Riyal

2. Kalau terpaksa menukar di musim haji, tukarlah Rupiah di Indonesia, bukan di Arab Saudi. Di Arab harga satu riyal bisa setara dengan Rp 3.000 sampai Rp 3.300. Di Tanah Suci biasanya kursnya lebih mahal kecuali kita bisa menukar ke sesama jemahaan haji dengan "harga pertemanan."

3. Hindari menukar uang di embarkasi atau di bandara keberangkatan. Kurs satu Riyal biasanya sudah mulai tinggi sekitar Rp 2.700 hingga Rp 3.000 bahkan bisa lebih.

4. Lebih baik menukar di money changer besar, bukan agen di jalan-jalan.

5. Beberapa jemaah haji yang pintar mereka menukar rupiah dengan pergi ke bandara Soekarno Hatta di Terminal kedatangan TKI. "Di sana kursnya dua bulan sebelum haji bisa murah, hingga Rp 2.500," kata seorang jemaah haji.

6. Bila terpaksa menukar Rupiah di Tanah Suci, akan lebih murah bila kita menukar dengan sesama jemaah haji yang sudah akan pulang ke Indonesia. Mereka biasanya akan banting harga karena berpikir lebih baik bawa pulang rupiah ketimbang Riyal.

Selamat berburu Riyal.BS

baca semua...

SMP Terbuka ?

Radar Madiun
Sabtu, 17 Oktober 2009
Melongok SMP Terbuka di Sidomukti, Plaosan, yang Digagas Sutikno Sang Kades
"Saya Tidak Ingin Anak-Anak Hanya Tamat SD"

Anak adalah masa depan orang tua. Karenanya, bekal terpenting adalah pendidikan yang layak. Di Desa Sidomukti, Kecamatan Plaosan, Magetan, ada SMP Terbuka untuk menampung siswa dari keluarga kurang mampu. Sutikno, sang kades, adalah sosok berjasa di lembaga itu?

M. ARIF WIDIYANTO, Magetan

PENGGALAN syair lagu ''Garuda di Dadaku'' dinyanyikan dengan lantang oleh Yudi Kurniawan. Sesekali, temannya menyahut bait demi bait tembang yang dipopulerkan grup band Netral tersebut. ''Garuda di dadaku... Garuda kebanggaanku. Ku yakin hari ini pasti menang... Kobarkan semangatmu... Tunjukkan sportivitasmu... Ku yakin hari ini pasti menang,'' ucap Yudi dari lobi lantai dua balai desa Sidomukti, Plaosan, Magetan, Kamis siang (8/10).

Lagu yang menjadi soundtrack film ''Garuda di Dadaku'' itu seakan menjadi pelecut Yudi, Nanang, Dwi Ayu Kurnia, Dwi Yuliati bersama empat temannya yang sekolah di SMP Terbuka, Desa Sidomukti. Meski belum pernah melihat film yang mengisahkan perjuangan bocah yang menembus Timnas PSSI, kedelapan anak desa di lereng selatan Gunung Lawu itu termotivasi merenda masa depan dari bangku SMP Terbuka. ''Senang akhirnya bisa terus sekolah. Apalagi, di sini sekolahnya gratis,'' tutur Yudi, siswa kelas VII SMP Terbuka sembari membuka-buka buku catatan pelajaran IPS untuk melihat pekerjaan rumah yang ditugaskan sang guru.

Sebelum masuk SMP Terbuka, Yudi sebenarnya ingin melanjutkan ke SMP Negeri 2 Plaosan. Lantaran orang tuanya kurang mampu, niatan anak kedua dari tiga bersaudara itu pupus. Namun, asa Yudi membuncah setelah mendengar di desanya akan dibuka sekolah lanjutan tingkat pertama. Semangatnya kembali menyembul tatkala ayahnya diundang pemerintah desa untuk sosialisasi program SMP Terbuka. ''Meski temannya sedikit, sekolah di sini (SMP Terbuka, Red) sama saja seperti di SMP negeri. Gurunya juga enak-enak,'' imbuh Dwi Ayu Kurnia, teman Yudi sambil membetulkan letak kaos kaki putih yang berlabel SMP Negeri 1 Plaosan, sekolah induk SMP tersebut.

Dwi Kurnia adalah putri Mariyem, seorang ibu rumah tangga dengan penghasilan pas-pasan dari buruh menganyam caping. Dari pekerjaan yang diorder tetangganya tersebut, dia membawa pulang uang sekitar Rp 300 ribu tiap bulan. Sedangkan suami merantau ke luar Jawa. ''Kalau tidak ada SMP Terbuka, saya tidak bisa meneruskan sekolah. Karena ibu tidak ada biaya,'' aku Dwi lirih.

Bagi Mariyem, dibukanya SMP Terbuka di desanya adalah kabar menggembirakan. Sejak diberitahu perangkat desa Sidomukti, perempuan paro baya itu bersemangat mengikuti sosialisasi, Juni 2009 silam. ''Alhamdulillah mas. Dwi akhirnya bisa meneruskan ke SMP. Kalau tidak ada sekolah ini, mungkin ya hanya tamat SD saja,'' kata Mariyem dengan mata berbinar saat didatangi koran ini bersama Jono, guru SMP Negeri 1 Plaosan sekaligus penanggung jawab sehari-hari SMP Terbuka.

Mariyem mengaku terbantu dengan sekolah khusus tersebut. Dengan penghasilan minim, dia tidak bisa berpikir biayanya darimana jika anaknya masuk sekolah reguler.

Jika Dwi masuk sekolah umum, tentu, dia akan disibukkan dengan urusan pembayaran uang gedung, dana seragam dan alat tulis yang harus disediakan saat tahun ajaran baru. Belum lagi biaya Dwi sehari-hari, misalnya, uang saku.

Pendirian SMP Terbuka tak lepas dari peran Kepala Desa Sidomukti, Sutikno. Gagasan itu, muncul setelah bertandang ke rumah koleganya, Jono, guru SMP Negeri 1 Plaosan. Sore itu, di rumah Jono ada beberapa anak yang sedang belajar bersama.

Sutikno yang mantan guru lantas bertanya perihal apa yang dilakukan anak-anak putus sekolah tersebut. ''Jawabannya membuat saya agak terkejut. Kata Pak Jono, anak-anak itu sedang dikarantina menghadapi ujian nasional. Mereka ini dari sekolah terbuka yang menginduk ke SMP 1 Plaosan,'' cerita pak lurah.

Kades yang pernah menyabet perhargaan pemerintahan desa tingkat nasional itu, lantas bertanya panjang lebar kepada Jono. Dia juga berkonsultasi kepada Kepala SMP Negeri 1 Plaosan, Retno Purwaningsih. Dia bahkan mencari informasi ke Dinas Pendidikan Magetan soal SMP Terbuka. ''Tiap hari saya terus memikirkan rencana mendirikan SMP Terbuka. Karena, saya tidak ingin anak-anak Sidomukti, terutama dari keluarga beruntung ini, pendidikannya hanya tamatan SD,'' papar Sutikno.

Sebagai kepala desa, Sutikno juga merasa harus bertanggung jawab ikut menyukseskan program wajib belajar 12 tahun. ''Kalau inisiatif tidak datang dari pemerintahan desa, siapa lagi. Dari situlah, dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim, saya dan teman-teman perangkat desa sepakat membuka kelas SMP Terbuka di sini (Sidomukti, Red),'' terang dia.

Ide tersebut gayung bersambut. SMP Negeri 1 Plaosan melihat ada motivasi kuat terkait rencana mendirikan sekolah terbuka di Sidomukti. Sinyal hijau ini ditangkap oleh pemerintahan desa dengan melakukan pendataan siswa kelas VI SD Sidomukti.

Dari data yang diambil jauh sebelum kelulusan tahun ajaran 2008/2009 lalu, didapat sejumlah anak dari keluarga miskin (gakin). ''SMP Terbuka ini memang diprioritaskan kepada anak usia sekolah dari keluarga kurang mampu,'' tuturnya

Pendekatan pun dilakukan. Tercatat, di awal pendataan, ada 15 anak yang tersaring. Mereka lantas diundang ke balai desa untuk diberikan pemahaman. ''Tapi, di tengah perjalanan, tinggal sembilan anak yang mendaftar. Ada pihak-pihak yang kontra dengan langkah kami ini,'' jelas Sutikno.

Cibiran tersebut dianggap Sutikno dkk sebagai hal yang lumrah. Sebab, SMP Terbuka adalah wacana baru bagi masyarakat pedesaan seperti Sidomukti ini. ''Ada yang mengatakan sekolahnya tidak legitimasi. Terus, ada yang ngomong nanti setelah lulus akan telantar dan ijazahnya tidak diakui,'' papar dia.

Meski ada yang mencibir, proyek sosial ini pun berlanjut. Bagi keluarga kurang mampu yang tertarik terus dimotivasi. Sedangkan, yang terpengaruh oleh gesekan orang yang tidak suka ditinggal. Pihak desa menyulap satu ruangan di lantai dua kantor desa setempat untuk kegiatan belajar mengajar. Sutikno juga menyediakan bangku dan kursi serta papan tulis untuk generasi penerus Desa Sidomukti.

''Setiap niat mulia pasti ada jalan. Dan sungguh ironis kalau anak-anak saya ini hanya tamat SD. Apalagi persaingan di masa mendatang sangat berat dan kejam. Mereka harus bisa sekolah SMP dan hingga SMA,'' jelas Sutikno.

Akhirnya, jerih payah Sutikno dan perangkat desa terealisasi. Pada tahun ajaran 2009/2010, secara resmi SMP Terbuka memulai kegiatan belajar mengajar dengan murid berjumlah delapan anak.

Saat tahun ajaran baru, kedelapan pelajar ini juga ikut MOS (masa orientasi sekolah) di SMPN 1 Plaosan. Yudi, Nanang, Dwi Ayu dan kawan-kawan juga ikut kegiatan Persami (perkemahan Sabtu-Minggu) serta kegiatan ekstrakurikuler lain di sekolah induk. ''KBM-nya masuk siang dan full satu minggu. Mulai Senin hingga Jumat. Khusus hari Sabtu, anak-anak kami bawa ke SMP 1 untuk pelajaran ekstrakurikuler. Dengan begitu, mereka tidak merasa asing atau terkucilkan. Mereka juga tetap memiliki teman,'' ujar kepala SMP Negeri 1 Plaosan, Retno Purwaningsih.

Menurutnya, program KBM di SMP Terbuka ini tidak sama dengan sekolah reguler. Anak-anak tersebut lebih difokuskan pada materi pelajaran Ujian Nasional (Unas). Yakni, bahasa Indonesia, matematika, bahasa Inggris dan IPS. ''Untuk menambah skill, mereka ikut ekstrakurikuler. Setiap ada kegiatan di sekolah induk, mereka juga selalu dilibatkan,'' jelar Retno.

Di awal pendirian SMP Terbuka ini, Retno dan guru di SMP Negeri 1 Plaosan sempat ragu. Namun, melihat kegigihan kepala desa dan perangkat Sidomukti, pihaknya tidak bisa menolak gagasan mulia tersebut. ''Apalagi setelah KBM berjalan, kami selaku sekolah pembimbing melihat ada motivasi kuat pada diri anak dan pihak desa. Beda dengan sekolah terbuka lain yang kami tangani. Kami juga bersemangat mengelola sekolah ini,'' jelas dia.

Dalam proyek sosial ini, Retno memilih guru yang memiliki keinginan dan kepedulian kuat untuk membagikan ilmunya kepada anak-anak dari keluarga kurang beruntung itu. ''Kami tidak tega untuk menelantarkan mereka. Ini proyek akhirat bagi kami,'' terangnya.

Meski tidak digaji tambahan, para guru juga merasa enjoy memberikan ilmunya kepada Yudi, Nanang, Dwi dkk. Apalagi, melihat semangat kedelapan siswa SMP Terbuka yang dari hari ke hari tetap menyala. ''Selama ini, operasional sekolah ini dari dana BOS (bantuan operasional sekolah). Di luar itu tidak ada.''

Mulai bulan depan, kepala desa Sidomukti, Sutikno akan membuatkan buku tabungan bagi siswa dan orang tuanya. Buku tersebut harus diisi dana minimal Rp 50 ribu tiap bulannya. Selama tiga tahun, diperkirakan akan terkumpul dana sekitar Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta. ''Itu bukan iuran atau untuk biaya di SMP Terbuka. Tabungan tersebut kelak akan digunakan biaya masuk SMA. Karena, cita-cita saya, anak-anak ini harus lulus SMA atau sederajat,'' kata Sutikno.

Bagi Yudi, Nanang, Dwi dkk, bersekolah di SMP Terbuka membuat masa depannya tersingkap. Yudi bahkan sudah memantapkan hati untuk menamatkan pendidikannya di sekolah yang dirintis oleh Sutikno. ''Saya ingin meneruskan ke SMA. Kalau bisa sampai kuliah,'' asa Yudi yang bercita-cita menjadi insinyur pertanian. ***(irw)

baca semua...